Foto oleh Bahrudin Yusuf |
Meski tujuan pun penting untuk dipikirkan, tapi
tujuan itu sendiri, dalam hal ini hanya sebagai pertanda, bahwa kita sudah
sampai di suatu titik untuk sementara, sembari merumuskan tujuan yang baru dan
mempersiapkan agenda perjalanan di hari depan.
Waktu itu, hari depan menuju pementasan Kekenceng masihlah
hari dan tanggal yang tak pasti. Untuk kalian ketahui, Kekenceng adalah judul
sebuah pementasan yang diadakan oleh grup pertunjukkan di kota Malang bernama
Teater Komunitas, sebuah grup pertunjukkan yang waktu itu usianya hampir satu
tahun semenjak dicetuskan dan dirumuskan arah pergerakannya.
Sebagai wujud eksistensi sebuah grup pertunjukkan
seni di kota Malang, pentas produksi adalah salah satu upaya mendewasakan diri,
baik secara proses kreatif maupun dari segi organisasi. Tulisan ini tidak
secara khusus membahas yang mana proses kreatif dan yang mana proses
organisasi, melainkan tulisan ini adalah lebih kepada catatan personal, tentang
keikutsertaan saya mempersiapkan pementasan secara total, bukan ulasan yang
serius tentang ide cerita, relevansi, nilai, apalagi teknik berteater, belum
kapasitas saya untuk bicara hal itu, mengingat belum banyak cerita yang saya
baca, belum banyak pula naskah yang saya pentaskan. Hanya hobi saja nonton
teater-teater kampus atau sekedar pertunjukkan sirkus.
Jauh-jauh hari kami mempersiapkan pentas produksi,
yang paling jauh adalah mempersiapkan hal-hal yang sifatnya kekaryaan, mulanya tentang
konsep pementasan, kemudian disusul program latihan, sembari berjalan keduanya
baru dirumuskan tentang teknis produksi. Sedikitnya ketiga hal itu haruslah
berjalan beriringan dan digarap dengan optimal. Pelajaran yang dapat saya
simpulkan dari pengalaman pementasan Kekenceng tempo hari adalah, pementasan
merupakan sebuah kesatuan antar unsur-unsur yang ada di dalamnya, jika ada satu
unsur yang bagus dan lainnya belum, maka mungkin ada yang belum tuntas dalam
penggarapannya, salah salah ada masalah yang belum terselesaikan antar
manusianya. Mungkin begitu.
Ada dua hal yang secara spesifik ingin saya
ceritakan di sini, tentu saja menurut sudut pandang pribadi saya, sebagai
anggota teater komunitas dan salah satu aktor pementasan tersebut. Pertama saya
ingin menceritakan tentang perjalanan pentas yang menjelajah tiga kota, kedua
tentang proses yang saya dapatkan selama mengikuti program latihan. Barangkali
yang kedua adalah pembahasan hal-hal yang lebih esensial dan sangat subyektif
daripada yang pertama.
Penjelajahan
Tiga Lokasi
Kekenceng dalam suka dan dukanya, nyatanya pernah
dipentaskan di tiga kota yang berbeda. Pertama di Jakarta, kemudian Malang dan
terakhir di Surabaya. Banyak kesempatan tersebut dapat dikata sebagai
keberuntungan yang menemani tahun-tahun pertama kelompok ini berkarya,
barangkali salah satu hal penting yang dapat saya bagi berdasarkan pengamatan
saya adalah sikap membuka diri. Sebagaimana sifat anak muda yang berani
mengambil resiko, berapi-api, barangkali juga kompulsif, beserta
kondisi-kondisi yang selalu tak pasti, disitulah kesempatan ditebas tanpa
perhitungan untung rugi lagi. Bahkan mungkin seingat saya, kami sempat tak
menawar, karena kami tahu bahwa melewatkan kesempatan berarti jangan berharap
kesempatan itu akan datang lagi.
Entah itu yang disebut sikap membuka diri ataukah
naif ataukah tidak realistis, saya tidak mengerti, tetapi saya percaya bahwa segala
sesuatu tidaklah terjadi secara kebetulan. Barangkali penjelajahan di tiga
lokasi yang meleset jauh dari perencanaan kebanyakan kami, adalah sebuah proses
yang musti dilalui dengan beragam konflik batin, personal maupun sosial. Sudah
menjadi hal yang lumrah beragam konflik tersebut membuatmu tahu sisi sisi
mengerikan dari kawan-kawanmu, membuatmu juga muak kemudian tak lagi percaya
pada seorang pun orang di sekitarmu, namun tak lekas kamu membenci mereka ‘kan?
Meskipun performa ketiga panggung itu berbeda-beda
dan cenderung fluktuatif, boleh jadi itulah cerminan dari kondisi di dalam
kelompoknya, masih belum stabil. Mungkin di lain waktu lah akan saya tuliskan
tentang betapa dramatisnya perjalanan tiga lokasi itu, ya setidaknya perjalanan
itu membuahkan pelajaran yang dapat meningkatkan kapasitas untuk terus belajar
dan tidak cepat puas.
Proses
Kreatif Keaktoran
Menurut saya bermain teater dapat menjadi alternatif
intervensi perilaku atau terapi yang menyenangkan. Ada proses perubahan
perilaku di sana, baik disadari atau tidak. Proses kreatif Kekenceng ini
ditempa berbulan-bulan, dengan porsi latihan fisik yang besar dan kedisiplinan
yang terus didengung-dengungkan, meski selalu ada kendala, entah itu persoalan
keterlambatan, jenuh, bosan, persoalan pribadi dan lain sebagainya, rasanya
semua kesulitan tersebut mustahil untuk dilalui.
Proses yang sebagaian besar dari kami jalani adalah
sebuah latihan fisik yang melelahkan. Mungkin bagi saya yang baru kali ini ikut
pentas produksi secara serius, proses latihan dengan menu sebagai berikut:
pemanasan per individu antara 10-30 menit, kontemplasi dengan tubuh masing-masing
sekitar 30-60menit, latihan respon sekitar 30-60menit, ditambah running dua hingga tiga kali dengan
durasi sekitar 40menit sekali running,
sejujurnya adalah menu yang membuat engsel patah-patah.
Proses sekitar 4 bulan
dengan durasi pertemuan yang tentatif dapat menurunkan berat badan
berkilo-kilo. Itu baru secara fisik, belum secara mental, konflik batin hingga
personal menjadi bumbu yang melengkapi drama keseharian. Tak jarang
pertengkaran, ketidakpuasan yang berujung kemangkelan, dan sederet persoalan
lainnya yang menguji integritas datang silih berganti menggoyahkan pendirian.
Salah satu ujian berat bagi saya dalam menjalani
proses Kekenceng ini adalah telinga saya sendiri.
Mungkin sebagian orang punya
pondasi yang kuat dalam menjalankan kesenian mereka sendiri, sebagian yang
lainnya hanya iseng-iseng coba-coba berhadiah dalam proyek ini, namun saya ada
diantara keduanya. Saya adalah tipikal orang yang total, sedikit basah harus
sekalian tercebur ke dalamnya, tapi di satu sisi saya sedang coba-coba. Pada
proyek Kekenceng inilah saya memprioritaskan pada urutan kedua, setelah
keluarga, bahkan sebelum urusan kuliah. Ujian terberat saya adalah menjawab
pertanyaan dari seorang tentang apa tujuan ikut teater, saya menjawab untuk
menyalurkan kebutuhan, menurutnya itu adalah sebuah tujuan yang dangkal, bagi
saya tidak karena saya tahu bahwa menyalurkan kebutuhan adalah soal
masing-masing orang. Menurutnya teater haruslah membawa dirinya pada
masyarakat, dalam artian haruslah memiliki dampak nyata pada masyarakat. Di
titik nasehatnya itulah, saya kemudian krisis identitas. Tentu bukan hal yang
baru dalam hidup saya tentang krisis identitas, saya telah mengalami orgasme
krisis identitas berkali-kali sepanjang saya menemui konflik dalam kehidupan.
Pertanyaannya sempat menggoyahkan saya.
Ketika krisis identitas terjadi, yang
saya lakukan adalah menarik diri, kemudian waktu memulihkan dengan sendirinya.
Tapi toh ‘berproses’ menjadi kata ajaib yang selalu
dipegang, bahkan dijadikan prinsip, dalam mengasah sendi-sendi tulang dan upaya
melipat lipat badan. Kata ‘berproses’ semacam menjadi keyakinan baru dalam
kehidupan saya, seolah-olah menjanjikan sesuatu, sebagaimana sabda para nabi
yang menyerukan kesabaran dan ketabahan, mungkin mirip hukum sebab akibat yang mengedepankan
prinsip konsekuensi. Kata ‘berproses’ menjadi sebuah kata ajaib yang mengandung
harapan di dalamnya, selain itu juga bermaksud sebagai pertahanan terakhir
dalam menjalani ujian demi ujian sepanjang perjalanan. Jikalau lelah hinggap di
ujung pundak, kerisauan melanda samudra perasaan, dan keruwetan memuncak di
pangkal ubun-ubun, tak ada lagi yang menenangkan selain mengembalikan diri pada
niatan awal, yakni ‘berproses’ untuk suatu tujuan yang baik.
Sebenarnya apa yang sedang diproses? Yang diproses
adalah diri sendiri. Pada proses latihan yang begitu berat, terdapat
upaya-upaya menghadirkan kesadaran terhadap setiap anggota tubuh yang
digerakkan. Tak hanya kondisi batin yang dibiarkan kontemplatif, gerak fisik
yang eksploratif, juga terdapat latihan pengelolaan diri yang intensif. Mungkin
ini yang disebut dengan menghasilkan diri yang terintegratif sehingga menghasilkan
manusia yang berintegritas.
Pun setelah semuanya berlalu, masih tersemat rasa
bangga karena berhasil melewati salah satu proses yang serius untuk berkarya
dan ada juga rasa candu berupa rindu merayakan euphoria kelelahan yang
mengambang di udara. Semoga masih dapat berproses di proyek lainnya.
Saya lalu teringat prinsip psikoterapi yang saya
pelajari, bahwa semua hal selalu dapat bertumbuh dan berkembang, asal ada
kesediaan untuk melewati kesakitan, bahasa kerennya working through the pain and legitimate suffering, setelah sebuah
proses yang mengandung kesakitan, disadari, kemudian dirasakan dan dilewati
dengan lapang dada, kelak kita akan mengingat proses itu dengan kebanggaan,
semacam kemenangan atas penaklukkan ego dan diri sendiri. Mungkin begitu esensi
dari mendalami seni.
Ditulis oleh: Mutia Husna Avezahra
Pertama kali diterbitkan di halaman pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar