Jumat, 11 Maret 2016

Di Balik Proses Kekenceng

Foto oleh Bahrudin Yusuf
Satu hal yang belakangan saya puja-puja adalah sebuah proses. Bukan lagi kesan, tidak lagi tujuan. Selain sebuah perjalanan yang nyata, ada hal lainnya lagi yang saya cari-cari sepanjang hari, Ia lebih ada pada dalam diri, bukan hanya sekedar perjalanan raga dari satu lokasi ke lokasi lain lalu menghasilkan sensasi panca indra, tetapi sebuah perjalanan yang lebih mengantarkan pada penemuan jati diri pribadi. Itu mungkin yang dapat saya definisikan tentang sebuah proses.

Meski tujuan pun penting untuk dipikirkan, tapi tujuan itu sendiri, dalam hal ini hanya sebagai pertanda, bahwa kita sudah sampai di suatu titik untuk sementara, sembari merumuskan tujuan yang baru dan mempersiapkan agenda perjalanan di hari depan.

Waktu itu, hari depan menuju pementasan Kekenceng masihlah hari dan tanggal yang tak pasti. Untuk kalian ketahui, Kekenceng adalah judul sebuah pementasan yang diadakan oleh grup pertunjukkan di kota Malang bernama Teater Komunitas, sebuah grup pertunjukkan yang waktu itu usianya hampir satu tahun semenjak dicetuskan dan dirumuskan arah pergerakannya.

Sebagai wujud eksistensi sebuah grup pertunjukkan seni di kota Malang, pentas produksi adalah salah satu upaya mendewasakan diri, baik secara proses kreatif maupun dari segi organisasi. Tulisan ini tidak secara khusus membahas yang mana proses kreatif dan yang mana proses organisasi, melainkan tulisan ini adalah lebih kepada catatan personal, tentang keikutsertaan saya mempersiapkan pementasan secara total, bukan ulasan yang serius tentang ide cerita, relevansi, nilai, apalagi teknik berteater, belum kapasitas saya untuk bicara hal itu, mengingat belum banyak cerita yang saya baca, belum banyak pula naskah yang saya pentaskan. Hanya hobi saja nonton teater-teater kampus atau sekedar pertunjukkan sirkus.

Jauh-jauh hari kami mempersiapkan pentas produksi, yang paling jauh adalah mempersiapkan hal-hal yang sifatnya kekaryaan, mulanya tentang konsep pementasan, kemudian disusul program latihan, sembari berjalan keduanya baru dirumuskan tentang teknis produksi. Sedikitnya ketiga hal itu haruslah berjalan beriringan dan digarap dengan optimal. Pelajaran yang dapat saya simpulkan dari pengalaman pementasan Kekenceng tempo hari adalah, pementasan merupakan sebuah kesatuan antar unsur-unsur yang ada di dalamnya, jika ada satu unsur yang bagus dan lainnya belum, maka mungkin ada yang belum tuntas dalam penggarapannya, salah salah ada masalah yang belum terselesaikan antar manusianya. Mungkin begitu.

Ada dua hal yang secara spesifik ingin saya ceritakan di sini, tentu saja menurut sudut pandang pribadi saya, sebagai anggota teater komunitas dan salah satu aktor pementasan tersebut. Pertama saya ingin menceritakan tentang perjalanan pentas yang menjelajah tiga kota, kedua tentang proses yang saya dapatkan selama mengikuti program latihan. Barangkali yang kedua adalah pembahasan hal-hal yang lebih esensial dan sangat subyektif daripada yang pertama.

Penjelajahan Tiga Lokasi

Kekenceng dalam suka dan dukanya, nyatanya pernah dipentaskan di tiga kota yang berbeda. Pertama di Jakarta, kemudian Malang dan terakhir di Surabaya. Banyak kesempatan tersebut dapat dikata sebagai keberuntungan yang menemani tahun-tahun pertama kelompok ini berkarya, barangkali salah satu hal penting yang dapat saya bagi berdasarkan pengamatan saya adalah sikap membuka diri. Sebagaimana sifat anak muda yang berani mengambil resiko, berapi-api, barangkali juga kompulsif, beserta kondisi-kondisi yang selalu tak pasti, disitulah kesempatan ditebas tanpa perhitungan untung rugi lagi. Bahkan mungkin seingat saya, kami sempat tak menawar, karena kami tahu bahwa melewatkan kesempatan berarti jangan berharap kesempatan itu akan datang lagi.

Entah itu yang disebut sikap membuka diri ataukah naif ataukah tidak realistis, saya tidak mengerti, tetapi saya percaya bahwa segala sesuatu tidaklah terjadi secara kebetulan. Barangkali penjelajahan di tiga lokasi yang meleset jauh dari perencanaan kebanyakan kami, adalah sebuah proses yang musti dilalui dengan beragam konflik batin, personal maupun sosial. Sudah menjadi hal yang lumrah beragam konflik tersebut membuatmu tahu sisi sisi mengerikan dari kawan-kawanmu, membuatmu juga muak kemudian tak lagi percaya pada seorang pun orang di sekitarmu, namun tak lekas kamu membenci mereka ‘kan?

Meskipun performa ketiga panggung itu berbeda-beda dan cenderung fluktuatif, boleh jadi itulah cerminan dari kondisi di dalam kelompoknya, masih belum stabil. Mungkin di lain waktu lah akan saya tuliskan tentang betapa dramatisnya perjalanan tiga lokasi itu, ya setidaknya perjalanan itu membuahkan pelajaran yang dapat meningkatkan kapasitas untuk terus belajar dan tidak cepat puas.

Proses Kreatif Keaktoran

Menurut saya bermain teater dapat menjadi alternatif intervensi perilaku atau terapi yang menyenangkan. Ada proses perubahan perilaku di sana, baik disadari atau tidak. Proses kreatif Kekenceng ini ditempa berbulan-bulan, dengan porsi latihan fisik yang besar dan kedisiplinan yang terus didengung-dengungkan, meski selalu ada kendala, entah itu persoalan keterlambatan, jenuh, bosan, persoalan pribadi dan lain sebagainya, rasanya semua kesulitan tersebut mustahil untuk dilalui.
Proses yang sebagaian besar dari kami jalani adalah sebuah latihan fisik yang melelahkan. Mungkin bagi saya yang baru kali ini ikut pentas produksi secara serius, proses latihan dengan menu sebagai berikut: pemanasan per individu antara 10-30 menit, kontemplasi dengan tubuh masing-masing sekitar 30-60menit, latihan respon sekitar 30-60menit, ditambah running dua hingga tiga kali dengan durasi sekitar 40menit sekali running, sejujurnya adalah menu yang membuat engsel patah-patah. 

Proses sekitar 4 bulan dengan durasi pertemuan yang tentatif dapat menurunkan berat badan berkilo-kilo. Itu baru secara fisik, belum secara mental, konflik batin hingga personal menjadi bumbu yang melengkapi drama keseharian. Tak jarang pertengkaran, ketidakpuasan yang berujung kemangkelan, dan sederet persoalan lainnya yang menguji integritas datang silih berganti menggoyahkan pendirian.
Salah satu ujian berat bagi saya dalam menjalani proses Kekenceng ini adalah telinga saya sendiri. 

Mungkin sebagian orang punya pondasi yang kuat dalam menjalankan kesenian mereka sendiri, sebagian yang lainnya hanya iseng-iseng coba-coba berhadiah dalam proyek ini, namun saya ada diantara keduanya. Saya adalah tipikal orang yang total, sedikit basah harus sekalian tercebur ke dalamnya, tapi di satu sisi saya sedang coba-coba. Pada proyek Kekenceng inilah saya memprioritaskan pada urutan kedua, setelah keluarga, bahkan sebelum urusan kuliah. Ujian terberat saya adalah menjawab pertanyaan dari seorang tentang apa tujuan ikut teater, saya menjawab untuk menyalurkan kebutuhan, menurutnya itu adalah sebuah tujuan yang dangkal, bagi saya tidak karena saya tahu bahwa menyalurkan kebutuhan adalah soal masing-masing orang. Menurutnya teater haruslah membawa dirinya pada masyarakat, dalam artian haruslah memiliki dampak nyata pada masyarakat. Di titik nasehatnya itulah, saya kemudian krisis identitas. Tentu bukan hal yang baru dalam hidup saya tentang krisis identitas, saya telah mengalami orgasme krisis identitas berkali-kali sepanjang saya menemui konflik dalam kehidupan. Pertanyaannya sempat menggoyahkan saya. 

Ketika krisis identitas terjadi, yang saya lakukan adalah menarik diri, kemudian waktu memulihkan dengan sendirinya.

Tapi toh ‘berproses’ menjadi kata ajaib yang selalu dipegang, bahkan dijadikan prinsip, dalam mengasah sendi-sendi tulang dan upaya melipat lipat badan. Kata ‘berproses’ semacam menjadi keyakinan baru dalam kehidupan saya, seolah-olah menjanjikan sesuatu, sebagaimana sabda para nabi yang menyerukan kesabaran dan ketabahan, mungkin mirip hukum sebab akibat yang mengedepankan prinsip konsekuensi. Kata ‘berproses’ menjadi sebuah kata ajaib yang mengandung harapan di dalamnya, selain itu juga bermaksud sebagai pertahanan terakhir dalam menjalani ujian demi ujian sepanjang perjalanan. Jikalau lelah hinggap di ujung pundak, kerisauan melanda samudra perasaan, dan keruwetan memuncak di pangkal ubun-ubun, tak ada lagi yang menenangkan selain mengembalikan diri pada niatan awal, yakni ‘berproses’ untuk suatu tujuan yang baik.

Sebenarnya apa yang sedang diproses? Yang diproses adalah diri sendiri. Pada proses latihan yang begitu berat, terdapat upaya-upaya menghadirkan kesadaran terhadap setiap anggota tubuh yang digerakkan. Tak hanya kondisi batin yang dibiarkan kontemplatif, gerak fisik yang eksploratif, juga terdapat latihan pengelolaan diri yang intensif. Mungkin ini yang disebut dengan menghasilkan diri yang terintegratif sehingga menghasilkan manusia yang berintegritas.

Pun setelah semuanya berlalu, masih tersemat rasa bangga karena berhasil melewati salah satu proses yang serius untuk berkarya dan ada juga rasa candu berupa rindu merayakan euphoria kelelahan yang mengambang di udara. Semoga masih dapat berproses di proyek lainnya.

Saya lalu teringat prinsip psikoterapi yang saya pelajari, bahwa semua hal selalu dapat bertumbuh dan berkembang, asal ada kesediaan untuk melewati kesakitan, bahasa kerennya working through the pain and legitimate suffering, setelah sebuah proses yang mengandung kesakitan, disadari, kemudian dirasakan dan dilewati dengan lapang dada, kelak kita akan mengingat proses itu dengan kebanggaan, semacam kemenangan atas penaklukkan ego dan diri sendiri. Mungkin begitu esensi dari mendalami seni.
 Ditulis oleh: Mutia Husna Avezahra
Pertama kali diterbitkan di halaman pribadi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler