Jiwa mau mati hendak mati ingin mati berkalang smara. Luka mengubang darah kering bercampur barah. Luka akanmu! Luka akanmu!
Dialog inilah yang mengawali pertunjukan Teater Komunitas yang diambil dari kisah percintaan legendaris di bumi Malangan yaitu tentang kisah Panji Asmorobangun dengan Anggraini. Panji Asmorobangun, sang putera mahkota yang menolak perjodohan dan tahta kerajaan demi memilih perempuan yang dicintainya, seorang gadis desa biasa. Barangkali ia akan menjadi orang paling berdosa di kerajaannya lantaran keputusannya itu, dan akibat lainnya tentu saja adalah dua kerajaan yang akan tetap berperang saudara. Namun barangkali ia hanya seorang manusia biasa yang tak mau mendustai perasaannya sendiri. Pelik! Sebab rakyat dan kekasih adalah dua hal yang tak mungkin dibandingkan. Romansa ini dibawakan dengan model penggabungan antara gerak tari, akrobatik, dan bela diri, serta dengan model dialog-dialog puitis.
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki menjadi panggung pertama pertunjukan ini. Dihelat pada 9 April 2015, pertunjukan ini juga menjadi ajang pentas 9-an Taman Ismail Marzuki sekaligus peringatan wafatnya aktor kawakan Indonesia, Alex Komang. Pascapertunjukan ini tentu saja ada dialog dari beberapa seniman Jakarta seperti Arswendy Nasution, Bambang Ismantoro, dan Krisno Bossa, yang dilakukan secara santai di tempat makan lesehan di depan gerbang Taman Ismail Marzuki.
Helat kedua dilakukan di Malang pada 30 April 2015, di Gedung Kesenian Gajayana. Faktor gedung yang kurang ideal untuk pentas pertunjukan menjadi catatan utama dalam pertunjukan ini. Namun kekuatan bermain para aktor menjadi daya tarik penonton, yang mengangkat pertunjukan.
Helat terakhir dilakukan di Gedung Cak Durasim Surabaya setelah Teater Komunitas lolos kuratorial dari Dewan Kesenian Jawa Timur untuk pergelaran pertama Teater Periodik DKJT, bersama dengan Padepokan Seni Madura, Sumenep. Pertunjukan ini dilaksanakan pada 15 Mei 2015. Diawali dengan pentas dari Padepokan Seni Madura, kemudian Teater Komunitas dengan Kekencengnya, dan pada akhirnya adalah diskusi dengan menghadirkan sutradara kedua pertunjukan bersama Autar Abdillah sebagai pengamat.
Tiga kali
roadshow tentu saja membuat pertunjukan
Kekenceng menjadi semakin matang, namun bukan lantas membuat tafsir akan kisah Panji Asmorobangun dan Anggraini menjadi selesai. Membedah legenda sebesar itu barangkali membutuhkan waktu seumur hidup, namun dengan tiga proses ini cukup menipis batas kekeringan pengetahuan akan legenda Malangan bagi para pegiat Teater Komunitas yang terbilang masih muda ini.